Ntah karena hati ini terlalu ego, menatap langit yang seolah
berubah menjadi kelabu.
Ntah karena hati yang terlalu kaku, menoleh pada alam yang
mengubah mencekam.
Karena hati bukanlah jawaban, karena hati bukanlah tuntunan,
rapuh bagai seonggok jerami.
Kini, malam datang seolah menutup semua pintu cahaya,
menutup semua hasrat di jiwa.
Pada angin malam yang melambai-lambai pun seolah menaruh
isyarat suatu pesan tak terbaca.
Tapi, hati yang tahu, hati yang punya jawaban, bukan lagi
seonggok logika yang tercerah disini.
Bila ada bambu di depan mata, kepada siapa hati akan
melemparnya?
Bila ada bunga di depan mata, kepada siapa hati akan
memberinya?
Itulah, jalan Tuhan yang tak disadari. Seolah semua pesan
yang dibawa oleh angin malam hanyalah pesan kegalauan.
Galau ketika hati yang tak sesuai, galau ketika hati yang
tak mampu tertahan.
Kadang rumit jalan menuju pulau jawa, ketika kita memberi
timpahan pada sang pengendali pikiran.
Sang pengendali pikiran tidak berbicara tentang rasa, seolah
membungkam bagai kutu padang pasir, tapi berbicara pada nalar kemanusiaan,
benar akan dijawab benar, dan salah akan dijawab salah.
Bertolak, ya memang benar, bagai bumi dan langit yang
terpisah jauh, bagai itu juga jarak hati dan pengendali pikiran, titik temu
yang bersifat asimtot.
Akhir dari cerita inilah yang akan menjadi titik tentu pada
jalan Tuhan kelak, siapa yang tahu jawabannya?
adalah waktu.
Dia yang tahu jawaban akhirnya, dia pula yang seolah memberi
tahu pada hati dan pengendali pikiran.
Karena yang terpisah suatu saat akan menyatu, oleh waktu tanpa
disadari. Itulah jawaban dari Jalan Tuhan yang tak Kau sadari.
0 komentar:
Posting Komentar